Penuh cinta dalam satu sesi seusai kelas |
Assalamulaikum, ibu.
Bagaimana kabarnya, lama tak bersua. Saya baik-baik
saja, semoga ibu juga. Oh ya, selamat menempuh hidup baru. Sakinah, mawaddah wa
rahmah. Saya tidak mengenal suami ibu, tapi saya percaya, perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik pula. Ibu adalah perempuan yang baik, saya yakin
suami ibu pun juga. Semoga dikaruniai keturunan yang shalih dan shalihah.
Ibu, hari ini tepat sehari setelah saya
mengumpulkan laporan PLP (Praktik Lapangan Persekolahan) dan delapan hari
setelah saya melepas posisi sebagai guru magang di UPTD SMPN 1 Tanahmerah selama
1 bulan 20 hari. Banyak hal yang saya dapatkan, bolehkah saya memabaginya
dengan ibu? Sosok pendidik yang menjadi inspirasi saya.
Pertama kali mengajar di sana, sama halnya
dengan para pemula lainnya, saya takut, gugup dan memiliki beragam spekulasi
dalam kepala saya.
Bagaimana kalau mereka semua nakal? Bagaimana kalau
mereka tidak mendengarkan saya? Bagaimana kalau saya tidak memiliki kecakapan
untuk mendidik mereka? Tapi saya mengingat apa yang pernah ibu sampaikan, bahwa sesuatu yang dilakukan oleh hati akan
sampai pada hati pula.
Saya mulai mengajar dan tentunya tidak semua
siswa menerima saya. Apalagi, saya mendapatkan kelas yang notabene terdiri dari
anak-anak hyperaktif yang susah sekali duduk diam.
Saya mencoba menggunakan segala metode, media
dan strategi, berharap anak-anak di kelas itu berbaik hati menerima saya. Awalnya
sulit sekali, apalagi saya harus terus berpacu untuk menyelesaikan KD dan indikator-indikator
dalam RPP. Namun lama kelamaan, saya berhasil menemukan ritme dan momentum saya
sendiri.
Ibu, momentum itu tercipta ketika saya
menerapkan cara ibu mengajar di kelas. Di tempat yang sesempit itu, dulu ibu
masih menyempatkan diri untuk menatap kami satu per satu, sambil berjalan ke
sana ke mari untuk menarik atensi kami sebagai mahasiswa.
Saya menerapkannya di kelas VIII.
Membayangkan bahwa saya adalah ibu yang berusaha memahami karakter mereka,
mencoba menghafal nama-nama mereka berdasarkan tempat duduk, model rambut,
karakter hingga suara-suara yang mereka hasilkan. Dan, itu berhasil!
Ketika mereka mengumpulkan tugas pertama kali,
saya kembali menerapkan cara ibu dalam menilai, memberikan catatan kecil
sebagai apresiasi terhadap kerja keras mereka dalam mengerjakan tugas. Mengirimkan
secercah cinta melalui aksara dalam kertas.
Ibu, di hari penutupan masa praktik mengajar,
saya menmeukan seorang siswa yang menangis dengan keras. Dengan mata
membengkak, dia mendatangi saya, memeluk dan meminta saya untuk kembali
mengajar mereka setelah lulus nanti. saya hanya bisa menangis terharu, sama
sekali tidak menemukan kata-kata untuk mengungkapkan perasaan saya.
Ibu, saya juga mendapatkan secarik surat yang
disampaikan malu-malu oleh seorang siswa. Dia tidak memberikan surat itu secara
langsung, tetapi melalui temannya. Rupanya, ia malu dan tidak kuat jika harus
memberikan surat itu pada saya secara langsung.
Terakhir, saya juga mendapatkan surat yang
digunting hingga berbentuk hati dari seorang siswa laki-laki. Dia berkata
dengan suara lirih, jangan lupakan saya
ya, Bu Halwah. Saya kembali kehilangan suara saya. Rasa haru tiba-tiba saja
menyelimuti dada saya.
Ibu, terima kasih sudah membaca surat ini. Saya
berdoa, di manapun ibu berada, ibu selalu dalam lindungan Allah dan berada
dalam kebaikan.
Salam saya, mahasiswamu nun jauh di Pulau
Madura.
0 komentar:
Posting Komentar