Assalamualaikum…
Bagaimana kabar
ibu?, saya boleh ‘kan memanggil anda dengan sebutan ibu?
Saya salah satu
mahasiswa ibu di semester empat ini, semester yang awalnya membuat saya jenuh
setengah mati. Berpikir bahwa saya akan mengulangi hari-hari seperti semester
sebelum-sebelumnya. Kontrak kuliah, analisis novel, metode pembelajaran, dll.
Saya merasa jenuh…
Saya masih
mengingat dengan jelas ketika pertama kali ibu masuk ke kelas, menebarkan
senyum dan yang meneduhkan. Sebelumnya saya mulai menarik beberapa kesimpulan
mengenai ibu yang sempat beredar di kalangan teman-teman sekelas, sebagian
besar gossip berasal dari desas-desus anak-anak sebelah.
Namun ketika ibu
berdiri pertama kali di hadapan saya, tersenyum dan bertutur sapa. Saya tahu,
saya keliru. Seharusnya saya tidak terlalu gegabah menilai ibu, maafkan
kealpaan saya.
Selanjutnya,
saya memiliki ketertarikan aneh dengan mata kuliah ibu. Tugas-tugas yang
sebenarnya memberatkan entah mengapa mulai saya nikmati, apalagi ketika ibu
membalas semua tugas-tugas kami dengan catatan yang ditulis sambil membayangkan
tiap-tiap wajah kami yang berlelah-lelah diri ketika mengerjakan tugas. Pasti
jauh lebih melelahkan. Namun saya mendaptkan diri saya sendiri justru menantikan
tugas itu dikembalikan, lalu membaca catatan kecil ibu berulang-ulang.
“Sesuatu yang dikerjakan dengan hati, maka akan sampai pada hati juga”
Adalah kalimat
yang hampir setiap pertemuan selama satu semester ini ibu sampaikan kepada
kami, tanpa kenal lelah. Kalimat itu mulai menyugesti saya, memengaruhi pola
pikir saya, mengubah beberapa hal dalam hidup saya. Meski tak besar, karena
sejatinya perubahan memang berawal dari hal-hal kecil yang terus menerus
dilakukan. Seperti yang penah ibu sampaikan, entah di pertemuan ke berapa.
Saya menyukai
cara ibu mengajar. Jujur, hal itu mulai memunculkan kembali sesuatu yang selama
ini tertanam dalam diri saya. Sesuatu yang pernah bersinar, sebelum kemudian
redup dan padam. Sirna.
Beberapa tahun
belakangan ini, saya mulai kehilangan tujuan mengapa saya memilih jurusan
pendidikan. Mengapa saya mencentang dan bersusah payah mengikuti ujian SBMPTN
jauh-jauh ke Kota Surabaya, menyisihkan ribuan pendaftar lain. Saya kehilangan euforia
itu, kehilangan alasan-alasan mengapa saya harus berada di kampus ini dan
membaca teori-teori.
Dulu sekali, ketika
saya masih SD, setiap kali saya mendapatkan pertanyaan tentang CITA-CITA, saya
akan dengan lantang dan bangga menjawab; Menjadi Guru. Polos sekali, penuh
imajinasi dan sangat murni.
Kini, saya
merasa tersesat. Saya tidak tahu saya keliru berbelok di sebelah mana, namun
tiba-tiba saja saya sudah kehilangan arah mata angin dan keluar jalur dari peta
konsep yang sebelumnya saya buat. Saya berusaha menemukan jalan untuk kembali
pada masa-masa ketika saya masih semangat membaca agar kelak dapat menjadi guru
yang baik.
Namun, saya
semakin tersesat dan tersungkur ke dalam jurang. Ketika saya mlihat
dosen-dosen, guru-guru saya sebelumnya yang hanya masuk ke kelas untuk sekadar mengajarkan
teori dan menuntaskan RPP. Saya tahu, bahwa sejak saat itu saya mulai berada di
jalan yang salah.
Dan imbasnya,
saya kehilangan kepercayaan kepada diri saya sendiri, juga pada orang-orang
dewasa di sekitar saya.
Mungkin ibu
tidak menyadari, namun ketika pertama kali ibu masuk ke kelas, saya yang sedang
duduk di pojokan memandang ibu dengan sinis. Menganggap bahwa ibu sama saja
dengan orang-orang dewasa yang selama ini saya temui setiap hari. Tanpa saya
menyadari bahwa setiap orang (sekalipun ia sudah dewasa) pada dasarnya memiliki
karakter yang berbeda-beda.
Maafkan kekhilafan
saya ya bu.
Saya mulai
merubah persepsi saya akan dunia orang dewasa sejak saya bertemu ibu. Dengan penuh
senyum dan telaten ibu mendidik saya dan teman-teman sekelas dengan cara yang
berbeda.
Dan itu
menyentuh saya.
Menghidupkan kembali
sesuatu yang dulu pernah bersinar dengan terang dalam dunia kecil saya, sebelum
kemudian redup dan padam diterpa oleh realita.
Terima kasih
ibu, nasehat-nasehat ibu masih terngiang hingga kini, dan semoga hingga saya
menjadi guru sehebat ibu yang tanpa lelah menginspirasi muridnya untuk menjadi
lebih baik melalui tugas-tigas, kisah-kisah, bahkan sekadar tayangan video yang
menjadi intermezzo setiap selesai
perkuliahan. Oh ya, saya menyimpan dan membaca berulang kali catatan-catatan
kecil ibu di setiap tugas peta konsep, sekadar menjadi penyambung semangat
untuk terus melangkah.
Terima kasih
ibu, sudah menjadi oase dalam gersangnya jalan kehidupan saya.
Terima kasih
ibu, sudah menjadi setitik cahaya yang menjadi pengantar pada jiwa yang
tersesat ini untuk menemukan jalan pulang, lalu melanjutkan kembali perjalanan
sebelumnya yang tertunda.
Terima kasih
ibu, sudah membuat saya jatuh cinta kembali pada cita-cita kecil saya.
Saya jatuh
cinta.
(PS: Terima
kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca surat cinta yang childish, chessy dan norak ini. Semoga ibu tetap menjadi inspirasi bagi semua
murid-murid ibu)
1 komentar:
Halwah, ibu menitikkan air mata ketika membaca tulisan ini. Selamat, sesuatu yang Halwa kerjakan dari hati telah sampai ke hati ibu pula. Semangat Halwah. Ibu sampai kehilangan kata-kata.
Posting Komentar